Search

Kemendag: Harga CPO Periode Februari 2025 Melemah

  Dengarkan Berita Ini

Kemendag: Harga CPO Periode Februari 2025 Melemah

Saat ini, Harga Referensi Crude Palm Oil (CPO) turun mendekati ambang batas sebesar US$680 per MT

Ilustrasi. Penampilan minyak sawit mentah (CPO) dan minyak makan merah yang dipamerkan di Gedung Sarinah, Jakarta, Jumat (19/7/2024). ANTARA/Shofi Ayudiana

JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, harga referensi (HR) komoditas minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk periode Februari 2025 mengalami penurunan US$104,10 atau 9,82% menjadi US$955,44 per metrik ton (MT).

Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengatakan, penurunan HR CPO tersebut dikarenakan beberapa faktor. Antara lain, penurunan permintaan terutama dari India dan penurunan harga minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai dan rapeseed.

"Saat ini, HR CPO turun mendekati ambang batas sebesar US$680 per MT. Untuk itu, merujuk pada PMK yang berlaku saat ini, pemerintah mengenakan bea keluar (BK) CPO sebesar 124 dolar AS per MT dan pungutan ekspor (PE) CPO sebesar 7,5 % dari HR CPO Februari 2025, yaitu sebesar 71,6581 dolar AS per MT untuk periode Februari 2025," ujar Isy dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (1/2).

Sumber harga untuk penetapan HR CPO dimaksud diperoleh dari rata-rata harga selama periode 25 Desember-24 Januari 2024 pada bursa CPO di Indonesia sebesar US$867,83 per MT. Lalu, bursa CPO di Malaysia sebesar US$1.043,05 per MT, dan pasar lelang CPO Rotterdam sebesar US$1.253,90 per MT.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 46 Tahun 2022, bila terdapat perbedaan harga rata-rata pada tiga sumber harga sebesar lebih dari US$40, maka perhitungan HR CPO menggunakan rata-rata dari dua sumber harga yang menjadi median dan sumber harga terdekat dari median.

Oleh karena itu, harga referensi bersumber dari bursa CPO di Malaysia dan bursa CPO di Indonesia. Sesuai dengan perhitungan tersebut, ditetapkan HR CPO sebesar US$955,44 per MT.

Selain itu, minyak goreng (Refined, Bleached, and Deodorized/RBD palm olein) dalam kemasan bermerek dan dikemas dengan berat bersih ≤ 25 kg dikenakan BK US$31 per MT, dengan penetapan merek sebagaimana tercantum dalam Kepmendag Nomor 124 Tahun 2025 tentang Daftar Merek Refined, Bleached, and Deodorized (RBD) Palm Olein dalam Kemasan Bermerek dan Dikemas dengan Berat Netto ≤ 25 Kg.

Limbah Sawit

Sementara itu, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mendukung kebijakan pemerintah yang membatasi ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO). Plt Ketua DMSI Sahat Sinaga mengatakan ke depan, bahan-bahan tersebut makin dibutuhkan untuk bahan bakar berkelanjutan seperti sustaiablen aviation fuel (SAF).

"Kebijakan pembatasan tersebut memperkuat upaya hilirisasi yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Dia menjelaskan, sejak Agustus 2011, Indonesia telah mencanangkan pola pengembangan sawit ke arah hilirisasi, yaitu mengarah agar produk-eksport sawit yang diekspor punya "nilai tambah yang tinggi".

Pola hilirisasi ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK.011/2011. Yaitu Produk Hulu dikenai Bea Keluar yang tinggi, dan Produk Hilir dikenai BK yang rendah.

Adapun pembatasan ekspor minyak sawit Kelompok II dalam Tabel Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yaitu POME, Residu (Empty Fruits Bunch Oil dan HAPO ) dan UCO (minyak jelantah) lantaran untuk menjamin ketersediaan minyak sawit ini untuk kebutuhan pasar dalam negeri.

Menurut Sahat pada 2010 komposisi ekspor Indonesia, produk hulu berupa CPO dan CPKO berkisar 70 persen volume dan 30 persen berupa produk hilir, yaitu RBD Oils, dan lainnya berupa Margarine, Shortening dan Sabun.

Dikatakannya Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA)/ Badan Dunia yang mengatur bahan baku yang diperkenankan untuk membuat bahan bakar kapal terbang (Aviation Fuel), menyatakan sustainable aviation fuel (SAF) tidak boleh menggunakan bahan baku yang berasal dari daerah tertentu. Misalnya berasal dari areal penebangan hutan primer, daerah rawa-rawa, dan lainnya, dimana lahan penghasil feedstock SAF itu berasal dari daerah yang ditanam sebelum 31 Desember 2008.

Feed-stock lainnya yang dapat dipergunakan sebagai feedstock pembuatan SAF, sesuai dengan tabel yang dikeluarkan oleh CORSIA adalah semua jenis produk yang ada di Kelompok II- PMK Pada 2026, lanjutnya akan ada regulasi penerbangan bahwa SAF harus ada dalam bahan bakar pesawat terbang dengan ratio SAF-5 persen.

"Kalau tidak maka penerbangan itu akan didenda besar. Sebesar GHG emisi yang dikeluarkannya, artinya semakin jauh jarak penerbangannya semakin besar denda yang akan dikenakan oleh badan dunia International Civil Aviation Organization (ICAO),” jelasnya.

Dalam konteks ini, menurut Sahat, Indonesia berkepentingan untuk menghasilkan SAF, saat ini yang paling potensial dipakai sebagai bahan bakar SAF itu adalah material yang ada dibatasi ekspornya tersebut, yakni POME, UCO dan HAPOR.

Oleh karena itu, tambahnya, BUMN agar segera membuat SAF sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo untuk membangun swasembada pangan dan energi berbasis sawit.

Dikatakannya, DMSI juga mendukung penuh dengan peraturan baru Permendag no 2/2025 tentang "Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit" dimana produk-produk sawit di Kelompok II tersebut akan diperketat. Hal ini sejalan dengan kebijakan hilirisasi dan antisipasi kebutuhan produk-produk yang dimaksud untuk menghasilkan SAF di dalam negeri.

Penulis: Faisal Rachman


** Tulisan ini berasal dari tautan berikut ini. (validnews.id)

  • Share