Respons Kemendag soal Food Vlogger Review Negatif Makanan dan Rugikan Pelaku Usaha
Ilustrasi makanan panas. Penjelasan Kemendag soal Konten Review Makanan yang Seret Food Vlogger Codeblu (Pexels/Navada Ra) 02:09
KOMPAS.com - Kementerian Perdagangan (Kemendag) buka suara terkait maraknya konten review makanan yang negatif sehingga merugikan pelaku usaha atau produsen. Kasus ini bermula ketika food vlogger William Anderson alias Codeblu mengulas makanan berupa kue yang diduga berjamur.
Namun, tuduhan itu dibantah oleh perusahaan pembuat makanan, seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (3/3/2025). Kasus tersebut terus bergulir hingga Codeblu membuat video permintaan maaf yang viral di media sosial.
Tak lama kemudian, muncul tuduhan bahwa Codeblu melakukan pemerasan kepada pelaku usaha dengan meminta uang jika ingin konten ulasan negatifnya dihapus. Nominal yang diminta pun disebut-sebut mencapai Rp 350 juta. Tetapi, tuduhan tersebut segera dibantah oleh istrinya.
Kontroversi pembuat konten review makanan negatif ini menuai sorotan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam rapat dengan Menteri Perdagangan (Mendag), Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam menyampaikan, Kemendag telah lalai dalam mengantisipasi dampak dari maraknya konten review negatif makanan sehingga memicu terjadinya penyalahgunaan oleh influencer yang memanfaatkan celah hukum untuk kepentingan pribadi, seperti tindak pemerasan.
Jika hal ini terus terjadi, Mufti khawatir keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan terancam gulung tikar. Lantas, bagaimana respons Kemendag terkait maraknya konten review makanan negatif dan merugikan pelaku usaha?
Penjelasan Kemendag soal konten review makanan yang negatif
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag RI, Moga Simatupang, mengatakan kasus konten review makanan yang menyebabkan kerugian kepada pelaku usaha sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang (UU) No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Merujuk aturan tersebut, penjual makanan yang dijadikan sumber review makanan oleh food vlogger masuk ke dalam pengertian pelaku usaha.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UUPK. Sementara itu, food vlogger yang membeli dan mengonsumsi makanan atau minuman untuk direview dapat dikategorikan sebagai konsumen. Hal tersebut berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUPK.
Sebagai konsumen, food vlogger memiliki kewajiban sebagaimana tertera dalam Pasal 5 UUPK. "Dalam Pasal 5 UUPK, konsumen wajib beritikad baik dalam melakukan transaksi dan apabila dirugikan mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen," kata dia, saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (3/3/2025).
Berikut kewajiban konsumen mengacu Pasal 5 UUPK:
- Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Konsumen berhak atas ganti rugi
Dalam hal food vlogger menemukan adanya makanan atau minuman yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan pelaku usaha atau merugikan konsumen, Moga menyampaikan, konsumen dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha.
Mengacu Pasal 19 UUPK Ayat 2, ganti rugi tersebut berupa pengembalian uang atau penggantian barang/jasa yang sejenis atau setara nilainya. Pemberian ganti rugi dapat dilakukan oleh produsen dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
Meski demikian, pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut. Jika pelaku usaha menolak untuk memberikan ganti rugi, konsumen dapat menuntutnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)/Pengadilan.
Food vlogger dilarang menyampaikan hal yang tidak benar
Lebih lanjut, Moga menjelaskan, jika seorang food vlogger membuat review makanan/minuman untuk keperluan konten yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi dirinya, maka pembuat konten tersebut dikategorikan sebagai pelaku usaha.
Mengacu Pasal 9 ayat (1) huruf i diatur, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
"Dalam hal vlogger membuat konten yang memuat dan menyebarkan informasi melalui media mengenai kualitas makanan/minuman dan informasi tersebut terbukti merendahkan barang dan/atau jasa lain yang berdampak merugikan pelaku usaha, meskipun tujuan dari pembuat konten adalah untuk kepentingan/kebaikan calon konsumen lain, hal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana dalam Pasal 62 ayat (1)," kata Moga.
Adapun sanksi dan pidana tersebut berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda Rp 2 miliar.
Aturan review makanan influencer masih dalam pembahasan
Sementara itu, Koordinator Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Eka Rosmalasari mengatakan, hingga saat ini aturan terkait review makanan oleh food vlogger masih dalam pembahasan. Meski demikian, Eka memastikan bahwa pihak yang berwenang memberikan review produk terhadap kosmetik dan bahan pangan olahan yang diawasi BPOM adalah BPOM sendiri.
"Apabila masyarakat menemukan produk yang tidak memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi ketentuan, silakan disampaikan ke BPOM," kata dia, saat dihubungi Kompas.com, Selasa.
Menurut Kepala BPOM, Taruna Ikrar, aturan review makanan dan kosmetik bakal disusun dengan memperhatikan hak konsumen dan produsen. Ikrar menyadari, influencer selaku konsumen memiliki hak untuk me-review. Namun, dia menyampaikan dalam hal me-review ada tata cara yang perlu ditaati agar tidak terjadi chaos di masyarakat.
"Jangan dianggap bahwa influencer lah yang menguasai yang paling benar dan memiliki semuanya itu," tuturnya, dikutip dari Kompas.com, Selasa (4/3/2025).
Ikrar memastikan, nantinya aturan itu akan disebut dengan peraturan tentang tata cara mengungkap ke publik. Dia juga mengatakan bahwa sedianya BPOM adalah lembaga yang memiliki hak untuk menegaskan isi dari suatu produk makanan, minuman, kosmetik, maupun obat-obatan.
Oleh karena itu, apabila influencer ingin memberikan review secara terbuka dan disampaikan ke publik, maka harus ada tata caranya.
Penulis: Alinda Hardiantoro, Irawan Sapto Adhi
** Tulisan ini berasal dari tautan berikut ini. (kompas.com)