Search

Permendag Baru Resmi Batasi Impor Etanol dan Singkong, Petani Lokal Bernapas Lega

  Dengarkan Berita Ini

Ilustrasi singkong. Jika dimkana dalam kondisi mentah atau jumlah berlebihan, singkong dapat memicu keracunan karena mengandung sianida alami.(PEXELS/ Daniel Dan)

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah akhirnya membatasi impor singkong dan etanol lewat dua aturan baru. 

Kebijakan ini menjadi tameng bagi petani lokal agar harga hasil panen mereka tidak tergerus produk impor. 

Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, resmi menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2025 yang mengatur impor singkong dan produk turunannya, serta Permendag No 32 Tahun 2025 yang mengatur impor etanol.


Menteri Perdagangan Budi Santoso di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (12/9/2025).(Kompas.com/Dian Erika)

Keduanya diterbitkan pada Jumat (19/9/2025) dan berlaku efektif 14 hari setelah diundangkan.

“Penerbitan kedua Permendag ini dilakukan sesuai arahan Bapak Presiden. Tujuannya, untuk menjaga kebutuhan industri, melindungi petani dalam negeri, sekaligus menjaga kepastian pasokan bahan baku strategis nasional,” ujar Budi lewat keterangan pers. 

Dalam aturan baru ini, impor singkong dan produk turunannya, seperti tepung tapioka, hanya bisa dilakukan importir pemegang API-P dengan rekomendasi teknis dari Kementerian Perindustrian atau Neraca Komoditas (NK). 

“Instrumen pengaturan impor ditetapkan melalui mekanisme Persetujuan Impor (PI) yang hanya dapat diberikan kepada importir pemegang Angka Pengenal Impor produsen (API-P),” paparnya.

Kemendag mendorong ubi kayu atau singkong dan produk turunannya masuk ke dalam neraca komoditas ke depannya.

“Artinya, kebijakan impornya akan disesuaikan dengan kebutuhan nasional, kapasitas produksi dalam negeri, dan potensi kekurangannya. Dengan demikian, kepentingan industri terpenuhi dan perlindungan terhadap petani singkong yang terjaga,” beber Budi.

Sementara impor etanol kembali diperketat agar tidak menekan harga molases alias tetes tebu yang menjadi bahan baku utama. 

Langkah ini juga untuk melindungi pendapatan petani tebu dan keberlangsungan industri gula nasional.

Budi menyebut, etanol memang vital untuk industri energi hingga farmasi, namun tidak boleh merugikan petani tebu. Dengan aturan baru, etanol tetap bisa masuk tapi sesuai kebutuhan, bukan membanjiri pasar. 

“Tujuannya, agar tidak mengganggu penyerapan tetes tebu lokal. Etanol ini sangat penting bagi industri, tetapi juga harus dipastikan tidak merugikan petani tebu yang selama ini memasok bahan baku,” katanya. 

Mendag menambahkan, Permendag 32/2025 juga mengakomodasi kebutuhan industri farmasi, obat tradisional, kosmetik, dan pangan olahan terkait bahan berbahaya (B2). Sebelumnya, impor B2 oleh Importir Terdaftar (IT-B2) hanya dapat disalurkan ke pengguna akhir di luar sektor tersebut. 

Permendag 32/2025 memungkinkan IT-B2, khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U), untuk mendistribusikan bahan berbahaya kepada sektor-sektor tertentu.

Syarat utamanya adalah rekomendasi dari lembaga pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan obat dan makanan, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Rekomendasi tersebut wajib dipenuhi jika bahan berbahaya akan digunakan untuk kebutuhan industri farmasi, industri obat tradisional, industri kosmetik, maupun industri pangan olahan dan Bahan Tambahan Pangan (BTP). 

Harga tetes tebu terjun bebas hingga menyentuh Rp 700 per kilogram (kg). Anjloknya harga komoditas ini dipicu oleh masuknya impor molasses dari Thailand untuk kebutuhan bahan baku etanol, sejak terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2025. 

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Fathudin Rosid, mengatakan kebijakan membuka keran impor molasses memukul keras produsen gula nasional, terutama produsen tetes tebu.

Padahal, selama lima tahun terakhir harga tetes stabil di kisaran Rp 2.400 per kilogram tanpa pernah mengalami penurunan berarti. 

“Biasanya harga tetes tahun kemarin itu Rp 2.400- Rp 2.100. Begitu ada Permendag yang membolehkan impor tetes dari Thailand untuk etanol, harga kita langsung terjun (turun),” ujar Fathudin saat ditemui di gedung Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2025). 

Ia menjelaskan, pola pendapatan produsen terbagi dua, yaitu dari gula dan dari tetes. Selama ini harga tetes berada di kisaran stabil sekitar Rp 2.400 sampai Rp 2.100 per kg. 

Namun situasi berubah drastis sejak terbitnya Permendag yang membuka keran impor molasses untuk kebutuhan etanol.

Kebijakan tersebut membuat pasar dalam negeri terguncang. 

Tetes yang biasanya mudah terserap kini menumpuk di tangki pabrik. Harga pun jatuh bebas. Dari posisi Rp 2.400 turun ke Rp 2.000, lalu melorot lagi ke Rp 1.700, merosot ke Rp 1.200, dan sekarang hanya dihargai sekitar Rp 700 per kilogram.

Penurunan bukan sekadar fluktuasi, melainkan membuat produksi tetes tahun ini tidak laku di pasaran. Jika kondisi terus berlanjut, operasional pabrik terancam berhenti. 

“Ya idealnya si tetes itu harganya Rp 2.400. Karena gula itu kan tahun yang lalu masih harga Rp 14.400. Lepas itu tahun 2023 itu kan masih Rp 13.000. Sekarang produksi kita masih ada 60 persen. Yang kemarin itu yang laku baru 40 persen kalau rata-rata,” jelasnya.

Rata-rata produksi molasses nasional mencapai 1,6 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, kebutuhan dalam negeri selalu terserap habis, terutama untuk industri etanol, pakan ternak, serta bahan baku makanan dan minuman.

Namun, ketika kebijakan impor molasses dibuka, penyerapan dalam negeri langsung anjlok. 

APTRI menilai impor molasses bukan hanya merugikan produsen tebu, tetapi kontraproduktif dengan program pemerintah yang mendorong swasembada gula dan energi berbasis bioetanol. Karena itu, Fathudin meminta agar Permendag Nomor 16 segera dicabut dan aturan dikembalikan seperti sebelumnya. 

“Yang setelah tahun-tahun yang lalu tidak pernah persoalan kayak gini, semua terserap. Begitu kita giling, tetes habis. Begitu ini kran (impor) dibuka, impornya itu, kemudian lebih murah, harga anjlok,” ucapnya.

Penulis: Suparjo Ramalan

** Tulisan ini berasal dari tautan berikut ini. (kompas.com)

  • Share