Search

Memitigasi Perang Dagang, Melindungi Produk Domestik

  Dengarkan Berita Ini

Memitigasi Perang Dagang, Melindungi Produk Domestik

Perang dagang telah digulirkan AS terhadap sejumlah negara. Kemendag berupaya memitigasinya, termasuk melindungi industri domestik dari potensi ”banjir” impor.


Di tengah tren penurunan harga komoditas ekspor andalan, sektor perdagangan Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar. Hal itu mulai dari perang dagang yang dipicu Amerika Serikat, serbuan produk-produk impor, dan kenaikan sejumlah harga pangan, terutama Minyakita.

Di bawah kepemimpinan Donald Trump, AS telah telah menaikkan tarif impor sejumlah produk asal China, Kanada, dan Meksiko. Meskipun belum menyasar Indonesia, pemerintah tetap perlu memitigasi dampak tak langsung perang dagang itu.

Salah satunya adalah potensi banjir impor, terutama dari China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari negara tersebut menjadi salah satu penyebab banyak industri TPT nasional bertumbangan.

Di sisi lain, harga Minyakita yang melambung jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) tak kunjung turun. Padahal, pergerakan harga minyak goreng kemasan sederhana program Minyak Goreng Rakyat itu telah terjadi sejak Juni 2024 atau sembilan bulan terakhir.

Menteri Perdagangan Budi Santoso menjawab sejumlah tantangan sektor perdagangan tersebut saat berkunjung ke Harian Kompas, Kamis (6/3/2025).


Menteri Perdagangan RI Budi Santoso (kiri) dan Pemimpin Redaksi Harian ”Kompas”/Kompas.id Sutta Dharmasaputra berbicara saat ”media visit” ke Kantor Redaksi Harian ”Kompas”/Kompas.id di Menara Kompas Jakarta, Kamis (6/5/2025).

Apa yang menjadi tantangan perdagangan internasional Indonesia saat ini?

Sejumlah lembaga dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 stabil, yakni 2,7-3,3 persen. Namun, pertumbuhan itu masih melambat seiring berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter dan disrupsi akibat ketegangan geopolitik.

Dari sisi perdagangan, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memprediksi terjadinya pemulihan pertumbuhan perdagangan barang dari 2,7 persen pada 2024 menjadi 3 persen pada 2025. Kinerja ekspor Indonesia memang mulai melambat seiring penurunan harga komoditas global.

Namun, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan surplus selama 57 bulan beruntun sejak Mei 2020 hingga Januari 2025. Sepanjang 2024, misalnya, surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar 31,04 miliar dollar AS. Surplus dagang terbesar Indonesia dengan India dan AS yang masing-masing sebesar 14,67 miliar dollar AS dan 14,34 miliar dollar AS.

Kedua negara itulah yang bakal menjadi tantangan terbesar kinerja perdagangan Indonesia. AS telah menaikkan tarif impor produk-produk asal China, Kanada, dan Meksiko. Adapun India telah beberapa kali memproteksi perdagangan dan menaikkan tarif impor sejumlah komoditas demi kepentingan dalam negeri.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan ekspor pada 2025 bisa tumbuh 7,1 persen secara tahunan menjadi Rp 294,45 miliar dollar AS. Target tersebut cukup berat mengingat ekspor Indonesia pada 2024 hanya tumbuh 2,29 persen secara tahunan.

Bagaimana memitigasi tantangan itu, termasuk upaya meningkatkan kinerja ekspor?

Pertama, diplomasi perdagangan dengan AS dan India perlu diperkuat, yakni dengan saling memberi akses dagang. Agar akses pasar utama ekspor kita tetap terbuka, kita juga perlu memberi akses pasar terhadap kedua negara tersebut.

Kami tidak akan menganut jalan proteksionisme karena dapat menjadi bumerang bagi kinerja ekspor Indonesia. Sebisa mungkin, kami tidak menghalang-halangi produk-produk kedua negara itu masuk pasar Indonesia. Namun, produk-produk yang akan masuk itu tetap kita takar sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri.

Dengan India, misalnya. Indonesia sudah mengimpor daging kerbau beku dari negara tersebut. Indonesia juga telah meminta India mengembangkan bawang putih seperti China. Tujuannya, untuk menyubstitusi impor bawang putih yang selama ini 100 persen berasal dari China.

"Kami tidak akan menganut jalan proteksionisme karena dapat menjadi bumerang bagi kinerja ekspor Indonesia."

Kedua, kami berupaya memperkuat pasar-pasar ekspor nontradisional. Sejumlah negara di Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, dan Asia Selatan kami sasar. Namun, secara khusus, kami ingin meningkatkan kerja sama dengan Uni Eropa melalui Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (I-EU CEPA).

Dalam negosiasi perjanjian itu, Uni Eropa (UE) bersedia memberikan akses terhadap sejumlah produk pertanian, alas kaki, dan TPT Indonesia. UE bahkan akan memberikan tarif yang sama seperti tarif yang dikenakan terhadap Vietnam. Hal ini bisa menjadi peluang perluasan pasar ekspor produk-produk Indonesia sekaligus memitigasi jika sewaktu-waktu AS menaikkan tarif produk-produk Indonesia.

Menteri Perdagangan Budi Santoso

Ketiga, kami memfasilitasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang siap ekspor mempromosikan produknya ke sejumlah pembeli dari negara lain. Salah satu caranya, meminta para atase perdagangan dan Indonesian Trade Promotion Center di 33 negara menggelar panjajakan bisnis.

Pada Januari-Februari 2025, mereka telah menggelar 146 sesi penjajakan bisnis yang melibatkan 498 UMKM dan 50 calon pembeli dari berbagai negara. Total transaksi yang kami dapat senilai 8,77 juta dollar AS.

Upaya itu juga menjadi salah satu dari program andalan kami, yakni UMKM Berani Inovasi, Siap Adaptasi (BISA) Ekspor. Melalui program itu, kami akan mengoptimalkan peran perwakilan perdagangan Indonesia di berbagai negara untuk mempromosikan produk-produk UKM siap ekspor dengan target transaksi mencapai 55 juta dollar AS, baik melalui pameran maupun penjajakan bisnis.

Juga dalam rangka meningkatkan ekspor, upaya kami yang lain adalah menggelar Trade Expo Indonesia (TEI) 2025. Pameran perdagangan berskala internasional ke-40 itu bakal digelar di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, pada 15-19 Oktober 2025. Total transaksinya ditargetkan mencapai 16,5 miliar dollar AS.

Lalu, apa upaya Kemendag memitigasi potensi “banjir” impor dampak perang dagang AS-China?

Salah satu program kami adalah Pengamanan Pasar Dalam Negeri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengenakan bea masuk antidumping (BMAD) produk nilon dari China, Thailand, dan Taiwan, serta bea masuk tindakan pengaman (BMTP) pakaian jadi. Kami bahkan telah menerapkan BMTP pada benang, tirai, kain, dan karpet impor.

Kami juga terus mengawasi dan menindak peredaran barang impor ilegal, termasuk TPT dan pakaian bekas. Pengawasannya dilakukan oleh Desk Pengawasan Barang Tertentu yang Diberlakukan Tata Niaga Impor di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga.

Jenis barang yang diawasi antara lain TPT, pakaian jadi, aksesori pakaian, keramik, elektronik, alas kaki, dan kosmetik. Pengawasan dan penindakan itu juga melibatkan kementerian/lembaga terkait, Kejaksaan Agung, Polri, bea dan cukai, TNI AL, dinas perdagangan daerah, dan Badan Intelijen Negara.

Pada Februari 2025, misalnya, kami berhasil mengamankan produk tekstil impor yang diduga ilegal. Produk tekstil tersebut berupa pakaian baru, pakaian bekas, serta kain gulungan impor sebanyak 1.663 koli balpres dengan nilai Rp 8,3 miliar.

Selain itu, dalam membuat regulasi impor, kami juga selalu melibatkan kementerian/lembaga dan asosiasi pelaku usaha terkait. Begitu juga ketika menerbitkan izin impor, kami juga mempertimbangkan neraca komoditas dan sejumlah masukan dari pemangku kepentingan terkait.

Minyak goreng Minyakita dijual pedagang di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (27/1/2025). Para pedagang di pasar itu menjual Minyakita seharga Rp 17.000 per liter. Harga ini jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 15.700 per liter.

Di sektor perdagangan dalam negeri, apa upaya Kemendag mengatasi lonjakan harga pangan, terutama Minyakita?

Harga Minyakita memang sudah lama berada di atas HET Rp 15.700 per liter. Per 5 Maret 2025, harga rerata nasional Minyakita Rp 17.200 per liter. Dari sisi suplai dan stok, sebenarnya aman. Hal itu lantaran kami telah meminta para produsen minyak goreng memasok kebutuhan minyak goreng, termasuk Minyakita, kepada Bulog dan ID Food dan ke pasar-pasar rakyat.

Kami melarang mereka menjual Minyakita secara bundling (sepaket dengan produk lain). Kami juga telah meminta jaringan distribusi mereka untuk menjual harga Minyakita sesuai harga jual yang ditetapkan Kemendag.

Harga jual Minyakita dari produsen ke distributor lini satu (D1) ditetapkan Rp 13.500 per liter, D1 ke D2 Rp 14.000 per liter, D2 ke pengecer Rp 14.500 per liter, dan pengecer ke konsumen sesuai HET Rp 15.700 per liter.

Jadi, yang membuat harga Minyakita lebih tinggi dari HET bukan pasokan terbatas, melainkan lebih pada problem di tingkat distribusi. Salah satunya, kami menemukan ada beberapa D2 nakal yang menerapkan kuota minimal pembelian Minyakita terhadap pengecer dalam jumlah besar.

Pengecer, misalnya, diwajibkan membeli Minyakita sebanyak 50 atau 100 dus. Dengan batasan itu, hanya pengecer bermodal besar yang mampu membelinya.

"Saat ini, kami tengah mengawasi distributor-distributor nakal itu. Beberapa di antaranya kami tindak tegas."

Akhirnya, pengecer besar itu menjual lagi ke pengecer kecil dengan harga yang lebih tinggi. Rantai distribusi yang seharusnya hanya memiliki D1 dan D2, kini justru memiliki D3 dan D4. Saat ini, kami tengah mengawasi distributor-distributor nakal itu. Beberapa di antaranya kami tindak tegas.

Bahkan, kami pernah menyegel distributor di Tengerang, Banten, yang mengemas ulang Minyakita dan menjualnya dengan harga di atas harga jual yang ditetapkan. Kami juga menindak distributor yang mengemas Minyakita dalam kemasan 750 mililiter dan menjualnya dengan harga 1 liter.

Penulis: Hendriyo Widi


** Tulisan ini berasal dari tautan berikut ini. (kompas.id)

  • Share